Kamis, 20 Oktober 2011

Kisah Ayah, Anak, Dan Burung Pipit

Yang Bikin Postingan : Unknown di 17.50
Saat langit cerah namun teduh, dengan angin bertiup semilir, di halaman sebuah rumah berpagar tinggi, seorang ayah yang telah lanjut usia dan anak lelakinya yang masih muda tampak sedang duduk dibangku taman. Bersantai sambil menikmati suasana sore hari yang nyaman.


Sang anak asyik membaca koran, sedang sang ayah tampak hanya diam terpekur memandangi tanaman. Ketika tiba-tiba seekor burung pipit hinggap di dedaunan tanaman yang berada didekat sang ayah, ia bertanya kepada anaknya,
"Nak, Apakah itu?".
Setelah melihat sejenak kearah tanaman sang anak menjawab ringan,
"Itu burung pipit yah", kemudian ia melanjutkan membaca koran.

Sang ayah memandang kearah burung itu lagi, kemudian bertanya kembali,
"Apakah itu?"
"Sudah aku katakan burung pipit yah", jawab si anak dengan nada sedikit kesal.
Sang ayah masih memandangi burung pipit tersebut, yang tak lama kemudian terbang dan hinggap kembali di tanah disisi lain dari halaman tersebut.

Dengan pandangan yang masih lekat pada burung itu kembali sang ayah bertanya,
"Apakah itu?".
"Burung pipit ayah . . burung pipit . ." jawab sang anak yang kesal. "P . . I. . P. . I. . T !" lanjut sang anak sambil mengeja dengan marah.

Sang ayah yang masih ragu dengan penglihatannya yang mulai kurang baik, bertanya kembali,
"Apakah itu?"
Kali ini sang anak benar-benar marah dengan nada keras ia menjawab,
"Mengapa ayah menanyakan ini terus-menerus?! Bukankah sudah berulang kali kukatakan bahwa itu burung pipit . . tidak bisakah engkau mengerti!!"

Mendengar hardikan anaknya, sang ayah yang merasa sakit hati kemudian bangkit dari duduknya untuk masuk ke dalam rumah.
"Mau kemana?!" tanya sang anak.
Sang ayah tidak menjawab hanya memberikan isyarat tangan yang berarti "sudahlah" dan melanjutkan langkahnya ke dalam rumah dengan langkah gontai dan hati yang sedih.

Sang anak meskipun kesal menyadari bahwa ia tidak sepantasnya membentak ayahnya yang telah lanjut usia. Tapi peristiwa tadi memang sungguh membuatnya kesal dan menghilangkan selera untuk meneruskan membaca koran.

Saat sang anak masih termanggu, sang ayah kembali sambil membawa sebuah buku yang ternyata adalah buku hariannya. Sang ayah duduk kembali disebelah anaknya, sambil membolak-balik halaman buku seperti mencari sesuatu.
Setelah ketemu halaman yang dicarinya ia sodorkan buku harian tersebut ke tangan anaknya, sambil menunjuk bagian yang ia ingin agar anaknya membacanya.

Sang anak menerima buku harian tersebut dan melihat bagian yang ditunjukkan oleh ayahnya. Sebelum ia mulai membaca ayahnya berkata,
"Yang keras ya . ." Ia ingin agar anaknya membaca buku hariannya dengan suara yang dapat terdengar jelas.

"Hari ini putraku yang paling bungsu, yang beberapa hari yang lalu genap berusia 3 tahun" Sang anak mulai membaca,
"Sedang duduk bersamaku di bangku sebuah taman . . ketika tak lama kemudian ada seekor burung pipit yang hinggap dihadapan kami"
"Putraku bertanya hingga 21 kali padaku . . apakah itu?"
"Aku jawab sebanyak 21 kali sebanyak ia bertanya, bahwa itu adalah burung pipit"
"Aku selalu memeluknya dengan bahagia setiap kali ia bertanya dan mengulangi pertanyaannya"
"Sekali lagi dan lagi . ."
"Tanpa sedikitpun aku merasa kesal, karena ia adalah putra kecilku dengan wajah tanpa dosa dan dengan rasa ingin tahunya yang besar, aku malah merasa bahagia dan senang"

Sampai disitu sang anak berhenti membaca, apa yang barusan dibacanya bukan hanya membuatnya menyadari kesalahannya, tapi membuatnya sungguh menyesal telah memperlakukan ayahnya seperti tadi.
Sang anak terdiam, memandang ayahnya sejenak, dengan mata berkaca-kaca menahan tangis ia memeluk dan mencium kening ayahnya.

Meskipun tidak ada kata-kata apapun yang terlontar dari mulut anaknya, sang ayah tahu bahwa putra kesayangannya telah menyadari kesalahannya, ciuman dan pelukan eratnya adalah tanda permintaan maaf darinya. Sang ayahpun tersenyum bahagia. Suasana sore yang indah menjadi terasa semakin indah.

Kejadian seperti diatas seringkali terjadi pada diri kita dalam situasi dan kisah yang berbeda. Seringkali orang tua kita yang sudah mulai lanjut melakukan hal-hal yang membuat kita kesal.
Saat itu cobalah ingat kembali bagaimana saat kita kecil, perbuatan kita yang seharusnya membuat mereka kesal justru membuat mereka bahagia, dan hanya menganggap itu hanyalah sebuah expresi yang positif.

KIta seharusnya bahagia, dengan keberadaan orang tua kita, saat kita sudah beranjak dewasa. Saat mereka masih ada disisi kita masih ada yang menanyakan dan mengingatkan "nak apakah kamu sudah makan?", "nak apakah kamu tidak lupa membawa payungmu?", "nak jam berapa kamu nanti pulang?", "nak beristirahatlah, besok kamu harus bekerja pagi-pagi", dan lain sebagainya.

Kadangkala pertanyaan dan peringatan mereka sampaikan berulang kali, hal inilah yang kadang membuat kita kesal. Cobalah renungkan kembali, saat mereka sudah tidak disisi kita, kita akan merasa ada bagian yang hilang. Tidak ada lagi yang menanyakan apakah kita sudah makan atau belum, tidak ada lagi yang mengingatkan apakah payung kita tertinggal atau tidak, tidak ada lagi yang menanyakan jam berapa kita pulang, tidak ada lagi orang yang menunggu kita dirumah, tidak ada lagi orang yang senantiasa mengkhawatirkan keselamatan kita dan tidak lelah berdoa untuk kita.

Seringkali doa yang dipanjatkan untuk anak-anaknya lebih banyak dari pada doa yang dipanjatkan untuk dirinya sendiri.
Pantaskah kita menunjukkan kekesalan kita ataupun berlaku kasar pada orang yang mencintai kita. Coba renungkan kembali, jangan sampai saat kita berpisah selamanya dengan orang tua kita yang tersisa hanya penyesalan.

Sumber : astrodigi.com

0 komentar:

Posting Komentar

 

Burung Pipit Berkicau